Tokoh-tokoh Sastrawan Indonesia
lustrasi tokoh tokoh sastra
Indonesia yang memiliki banyak sekali perbedaan di dalamnya, seperti tidak pernah habis menginspirasi orang-orang yang merasa sangat peka terhadap situasi yang tengah terjadi. Mereka yang peka cenderung lebih sering melampiaskan ekspresinya pada hal-hal yang sifatnya tulisan, pementasan, nyanyian, dan karya-karya sastra lain.
Akibatnya, dari dulu hingga sekarang jumlah para sastrawan di Indonesia tidak pernah berubah dan cenderung bertambah.Hadirnyatokoh-tokoh sastra tersebut semakin meramaikan kebudayaan yang ada di Indonesia.
Tokoh-Tokoh Sastra di Indonesia
Secara sederhana, definisi karya sastra adalah hal yang dapat menyenangkan hati dan pikiran orang yang menikmati. Tokoh-tokoh sastra di Indonesia jumlahnya sangat banyak. Mereka menuangkanpemikiran dan kreasinya melalui berbagai karya. Syair, cerita-cerita pendek, novel, drama, hingga lagu cukup mendapat penghargaan dari penikmat seni di Indonesia.
Tokoh-Tokoh Sastra Indonesia Angkatan Pujangga Baru
Meskipun sejak tahun 1920 dikenal majalah, dan antaranya juga yang memuat karangan-karangan tentang sastra seperti majalahSri Poestaka, Panji Poestaka, Jong Sumatra, dan lain-lainnya, tetapi hingga awal tahun 1930-an niat para pengarang untuk menerbitkan majalah khusus kebudayaan dankesusastraan belum juga terlaksana. Baru pada tahun 1933, Armijn Pane, Amir Hamzah, dan Sutan Takdir Alisjahbana berhasil mendirikan majalahPoejangga Baroe.
Pada mulanya, keterangan resmi tentang majalah ini berbunyi ‘majalah kesusastraan dan bahasa serta kebudayaan umum’, tetapi sejak tahun 1935 berubah menjadi pembawa semangat baru dalam kesusastraan, seni, kebudayaan, dan soal masyarakat umum yang pada tahun 1936 berubah lagi mejadi ‘pembimbing semangat baru yang dinamis untuk membentuk kebudayaan persatuan Indonesia’.
Pada zaman sebelumnya, Belanda banyak memberikan peraturan terutama mengenai pembatasan karangan atau karya sastra Indonesia. Oleh karena itu, dengan semangat yang gigih, bangsa Indonesia (baca:pengarang Indonesia) secara diam-diam mendirikan organisasi baru yang diberi namaPujangga Baru yang di dalamnya terdapat beberapa tokoh penting yang telah penulis sebutkan di atas.
Tokoh-tokoh sastra yang sangat berpengaruh tersebut memiliki ciri khas masing-masing dalam penulisan karyanya, yakni dalam hal aliran. Berikut penulis jelaskan lebih lanjut mengenai pengarang beserta karyanya.
Motor dan Pejuang Gerakan Pujangga Baru
Sutan Takdir Alisjahbana merupakan motor dan pejuang bersemangat gerakan Pujangga Baru. Ia muncul pada tahun 1929 dalam panggung sejarah sastra Indonesia, yakni pada saat novel pertamanya yang berjudul Tak Putus Dirundung Malang diterbitkan oleh Balai Pustaka.
Pada masa itu pun ia pernah mengungkapkan tulisan yang menyatakan secara tegas bahwa bahasa Melayu rendah atau melayu Toinghoa pun takkalah baiknya dengan bahasa Melayu Riau. Ucapan itu mengejutkan, apalagi jika dikatakan oleh pejuang Indonesia sehingga timbul reaksi yang keras dari pihak para pencinta bahasa Melayu tinggi yang murni. Atas inisiatif beliau pula-lah maka pada tahun 1938 diselenggarakan Kongres bahasa Indonesia yang pertama.
Tokoh-Tokoh Sastra Indonesia Angkatan ‘45
Seperti yang kita ketahui, sastra berdiri di atas konvensi dan inovasi sehingga kedua hal yang bertolak belakang tersebut dapat menimbulkan masalah dalam melahirkan suatu karya sastra.
Periodesasi sastra Indonesia angkatan 45 sering disebut-sebut sebagai pendobrak konvensi. Hal tersebut memberikan sesuatu yang baru bagi para pembaca sastra, yakni sebuah kepercayaan untuk mendobrak aturan-aturan tertentu mengenai karya sastra, baik dari segi ideologi maupun kebahasaannnya.
MunculnyaChairil Anwar dan sastrawan lain di masa itu memberikan sesuatu yang baru bagi panggung sejarah sastra Indonesia. Sajak-sajaknya yang radikal dan jauh dari romantisime (yang menjadi ciri khas angkatan Pujangga Baru) menjadikan sebuah tanda kebaruan bagi dunia sastra Indonesia.
Para Pendobrak Sastra
Pada masa kemerdekaan Indonesia, salah satu tokoh sastrawan angkatan 45, Pramoedya Anantatoer, mengikuti kelompok militer di Jawa dan seringkali ditempatkan di Jakarta di akhir perang kemerdekaan. Ia menulis cerpen dan buku sepanjang karir militernya dan dipenjara Belanda di Jakarta pada 1948 dan 1949.
Pada 1950-an, ia sanggup tinggal di Belanda sebagai bagian program pertukaran budaya, dan saat kembali, ia menjadi anggota Lekra, organisasi sayap kiri di Indonesia. Gaya penulisannya tidak lagi bersifat konvensional.
Sepertinya, inovasi telah mampu memengaruhi pikirannya untuk mengubah sebuah karya. Selama masa itu, ia juga mulai mempelajari penyiksaan terhadap Tionghoa Indonesia, dan pada saat yang sama mulai berhubungan erat dengan para penulis di Cina.
Pada 1960-an, ia ditahan pemerintahan Soeharto karena pandangan pro-Komunis Cinanya. Bukunya dilarang dari peredaran, dan ia ditahan tanpa pengadilan di Nusakambangan.
Penuai Kontroversi
Ketika Pramoedya mendapatkanRamon Magsasay Award, 1995, diberitakan sebanyak 26 tokoh sastra Indonesia menulis surat ‘protes’ ke yayasan tersebut. Mereka tidak setuju apabila Pramoedya yang dituding sebagai “jubir sekaligus algojo Lekra paling galak, menghantam, menggasak, membantai dan mengganyang” di masa demokrasi terpimpin, diberikan hadiah oleh RM. Mereka juga menuntut pencabutan penghargaan yang dianugerahkan kepada Pramoedya.
Tetapi beberapa hari kemudian,Taufik Ismail sebagai pemrakarsa, meralat pemberitaan itu. Katanya, bukan menuntut ‘pencabutan’, melainkan mengingatkan ’siapa Pramoedya itu’. Katanya, banyak orang tidak mengetahui ‘reputasi gelap’ Pram dulu. Dan pemberian penghargaan itu dikatakan sebagai suatu kecerobohan.
Tetapi di pihak lain, Mochtar Lubis malah mengancam mengembalikan hadiah Magsasay yang dianugerahkan padanya di tahun 1958, jika Pram tetap akan dianugerahkan hadiah yang sama. Lubis juga mengatakan, HB Yassin pun akan mengembalikan hadiah Magsasay yang pernah diterimanya. Tetapi, ternyata dalam pemberitaan berikutnya, HB Yassin malah mengatakan yang lain sama sekali dari pernyataan Mochtar Lubis.
Sementara itu, Pramoedya sendiri menilai segala tulisan dan pidatonya di masa pra-1965 itu tidak lebih dari ‘golongan polemik biasa’ yang boleh diikuti siapa saja. Dia menyangkal terlibat dalam berbagai aksi yang ‘kelewat jauh’. Dia juga merasa difitnah, ketika dituduh ikut membakar buku segala. Bahkan dia menyarankan agar perkaranya dibawa ke pengadilan saja jika memang materi cukup. Kalau tidak cukup, bawa ke forum terbuka, katanya, tetapi dengan ketentuan ia boleh menjawab dan membela diri.
Semenjak Orde Baru berkuasa, Pramoedya tidak pernah mendapat kebebasan menyuarakan suaranya sendiri, dan telah beberapa kali dirinya diserang dan dikeroyok secara terbuka di koran.
Sementara itu, tokoh sastra yang sering mengekpresikan karyanya melalui penyair yang sangat terkenal dan sepertinya tidak pernah lekang oleh zaman adalah Chairil Anwar. Syairnya yang paling terkenal adalah Aku. Syair-syair yang dituliskan Chairil, bahkan, sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris.
Tokoh-Tokoh Sastra Masa Kini
Sutarji Calzoum Bachri
Penyair yang juga tidak kalah terkenal adalah Sutarji Calzoum Bachri. Penyair tersebut terkenal dengan berbagaipuisi yang memiliki kata-kata tidak terikat makna. Dalam syairnya, Sutardji sering tidak mempedulikan makna-makna yang terkandung dalam setiap kata.
Bentuk dari syair karyanya pun cenderungnyleneh. Sutardji bisa membentuk gambar hati dari kata-kata yang ia susun. Karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan diterbitkan di berbagai negara, seperti India, Amerika Serikat, dan Belanda.
Sapardi Djoko Damono
Selanjutnya, penyair hebat yang dimiliki Indonesia adalahSapardi Djoko Damono. Penyair kelahiran 1940 ini, sudah mulai menulis beberapa puisi sejak ia duduk di bangku sekolah dasar. Syairnya yang terkenal adalah Hujan Bulan Juni.
Tokoh Sastra Lainnya
Selain ketiga penyair tersebut, Indonesia masih memiliki tokoh-tokoh sastra yang gemar membuat syair-syair indah, seperti W.S Rendra, Goenawan Muhamad, Sitor Situmorang, dan beberapa nama penyair lain.
Untuk tokoh sastra yang lebih senang bercerita dalam bentuk tulisan pendek, Indonesia memiliki, Seno Gumira Ajidarma (Saksi Mata), Shindunata (Putri Cina), dan masih banyak cerpenis Indonesia lain yang karyanya juga sangat banyak dinikmati masyarakat Indonesia.
Selain cerpenis, Indonesia memiliki tokoh-tokoh sastra yang menulis cerita dalam bentuk novel. Di antaranya, Remy Silado yang terkenal dengan novelCa-Bau-Khan (1999), Marga T yang terkenal dengan cerita-cerita pop romantis di era 1990-an, serta novelis yang menjadi fenomenal karena novel tetralogiLaskar Pelangi yang telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa, Andrea Hirata.
Indonesia juga memiliki tokoh sastra yang biasa menciptakan syair untuk dinyanyikan, di antaranya Iwan Simatupang dan Dewi Lestari. Ada beberapa lagi tokoh sastra lainnya yang cenderung senang menuangkan ekspresinya dalam pementasan drama, di antaranya Jajang C Noer dan Butet Kertarajasa.
http://bilarlla.blogspot.co.id/2017/11/galery.html?m=1